08 Desember 2010

Ingin

Aku ingin begini, aku ingin begitu

Ingin ini, ingin itu, banyak sekali

Yang tidak tahu potongan lirik lagu itu mungkin tidak tinggal di Indonesia. Potongan lirik dari anime yang, menurut Ibu saya yang orang Jawa, 'kh ayale pol', sebuah sindiran atas imajinasi yang terlalu tinggi. Tapi toh akhirnya imajinasi itu pula yang mengantarkan anaknya kuliah di Institut Top Banget, di Fakultas Senang Rock'n Roll dan Dangdutan.

Tapi tidak, poin saya bukan imajinasi, melainkan kata kerja dalam potingan lirik tersebut: 'ingin'. Menurut KBBI, definisi kata 'ingin' adalah 'hendak; mau; berhasrat'. Kata ini jadi penting dalam kehidupan, bersama dengan kata-kata analogusnya seperti 'impian' atau, yang berkesan jahat, 'tamak'.

Manusia senantiasa merasa ingin. Ingin kaya raya, ingin lulus cum laude, ingin jadi seniman, ingin punya pacar, ingin jadi raja bajak laut, dan lain-lain. Rasa ingin pulalah yang membawa Neil Armstrong ke bulan dan Wright Bersaudara membuat pesawat terbang. Ingin mendorong kita untuk menjadi, ingin mendorong kita untuk memiliki.

Di zaman serba cepat ini, ingin mengalir dengan kecepatan 1024 kBps. Bukan, itu bukan kecepatan yang sebenarnya, hanya saja saya ingin menggambarkan betapa cepatnya rasa ingin itu mengalir, berubah dari satu keingingan menuju keinginan lainnya, seringkali secara simultan, memaksa kita untuk bekerja secara multitasking. Belum tercapai satu keinginan, sudah ingin yang lain. Belum juga lulus, sudah ingin kawin(baca:nikah).

Ingin menggerakkan pasar. Dari pasar tradisional sampai pasar modal. Para kaum kapitalis beranggapan bahwa 'greed is good'. Beralasan, tentu saja, mengingat tanpa keinginan untuk memperkaya diri, tentu perekonomian tidak tumbuh. Ada sebuah artikel di majalah Capitalism Magazine yang berjudul The Virtue of Greed. Walter William, penulis artikel itu mengatakan, "It is greed, not compassion, that get things done." Sepertinya kamu benar, Adam Smith.

Tapi apakah ingin membuat kita bahagia? Apakah dengan terpenuhinya ingin, lantas kita bahagia? Tanyakan pada keinginan sendiri, maka jawabannya adalah 'ya'. Tanyakan pada keinginan yang telah lewat, jawabannya akan lain. Keinginan mengalir dari satu objek menuju objek lainnya. Boleh jadi keinginan itu ngetem seperti angkot, menanti terpenuhi, tapi toh segera setelah itu dia akan jalan menuju keinginan lainnya, terus begitu hingga entah kapan.

Bila kau terus pandangi langit tinggi di angkasa

Takkan ada habisnya segala hasrat di dunia

Begitu kata Ahmad Dhani.

Ki Ageng Suryomentaram mengatakan dalam 'Wejangan Pokok Ilmu Bahagia'-nya, bahwa keinginan yang tercapai akan mendatangkan rasa bahagia, namun dengan segera keinginan ini akan mulur alias memanjang atau meningkat. Sudah punya Honda Jazz, ingin BMW. Berhasil beli BMW, ingin Bentley. Bosan mobil, ingin beli kapal pesiar, dan seterusnya. Maka, rasa senang selalu dibarengi dengan susah yang disebabkan tidak tercapainya keinginan. Manusia itu sebentar senang, sebentar susah.

Kemudian, Ki Ageng Suryomentaram juga menambahkan bahwa rasa senang adalah sama. Orang kaya senang bisa mendirikan pabrik, orang miskin senang bisa mendapatkan sesuap nasi. Sejatinya, rasa senang itu sama. Seorang guru ngaji senang bisa mengajari muridnya mengaji, seorang pencopet senang bisa mencopet dompet orang. Dua-duanya sama-sama senang. Rasa senang itu sama dan setara bagi siapapun. "Jika kita memahami bahwa manusia itu sebentar senang, sebentar susah, dan rasa senang itu sama bagi setiap orang, maka bebaslah kita dari neraka iri hati dan kesombongan," demikian disampaikan Ki Ageng Suryomentaram.

Dua tahun yang lalu, saya membaca Caping (Catatan Pinggir)-nya Goenawan Mohammad di majalah Tempo. Ia mengomentari soal kepanikan para pemilik saham dengan membayangkan Ki Ageng Suryomentaram. "Mungkin," tulis GM, "Inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng Suryomentaram: Yang menangis adalah yang berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang ingin.”

Itulah tulisan yang menginspirasi saya untuk membuat notes ini. Sempat tergugah hati untuk mengikuti jejak Ki Ageng Suryomentaram, untuk hidup bersahaja, mengatasi segala rasa ingin, seperti para sufi, mungkin. Tapi ternyata tak semudah itu. Saya masih tetap mengizinkan diri saya untuk membeli camilan ber-MSG. Saya masih tetap membeli Tutti Frutti Frozen Yoghurt ketika teman-teman saya membelinya. Saya tetap ngikut ketika diajak nonton, menempatkan ingin diatas kepentingan finansial yang lebih penting seperti menabung, misalnya. Dan dengan mudah saya bisa membenarkan tindakan saya dengan berkata 'pergaulan memang butuh biaya'.

Akankah saya jadi seperti Buddha yang terbebas dari rasa ingin? Saya tidak tahu, dan saya tidak tahu apakah itu baik untuk saya. Yang pasti kini saya tahu bahwa saya harus lebih banyak memberi ketimbang menerima. Mengamini Freud, setiap dorongan psyche sebaiknya saya sublimasikan, lewat karya, lewat tulisan, dan lewat perbuatan. Sublimasikan, supaya tidak neurosis, dan tidak jadi keinginan rendah semata, namun menjadi nilai. Nilai yang bisa saya, atau orang lain, tengok sewaktu-waktu, untuk mengingatkan diri tentang bagaimana bersikap di hadapan rasa ingin.

...Ah, kanvas habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen yang banyak, gan!